Sebelum membicarakan
struktur organisasi, sebaiknya yang dibahas terlebih dahulu adalah Kegiatan
Puskesmas. Hal tersebut dikarenakan, struktur organisasi dibentuk untuk
mewadahi berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh Puskesmas. Bisa jadi antara
Puskesmas satu dengan Puskesmas lainnya akan sangat berbeda, sesuai dengan
kegiatan dan beban kerja Puskesmas.
Dalam Buku Kebijakan Dasar
Pusat Kesehatan Masyarakat, telah diberikan pola struktur organisasi Puskesmas
yang dapat dijadikan acuan, yang terdiri dari : Kepala Puskesmas, Tata Usaha,
Unit Pelaksana Teknis Fungsional dan Jaringan Pelayanan Puskesmas. Struktur
tersebut tidak mengikat, dan masing – masing Kabupaten/Kota dapat menyusun
sesuai kebutuhannya dengan tetap memperhatikan fungsi – fungsi dan tujuan dari
dibentuknya Puskesmas.
Dalam bab ini,
tidak akan dibahas mengenai struktur organisasi ideal yang seharusnya dimiliki
oleh Puskesmas, tapi akan dibahas mengenai beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam penyusunan struktur organisasi Puskesmas. Hal – hal tersebut diantaranya,
adalah :
1. Struktur yang dibentuk hendaknya
memperhatikan kegiatan, beban kerja dan tanggung jawab masing – masing
Puskesmas. Jadi, bisa berbeda antar Puskesmas satu dengan lainnya. Selama ini
kita mengenal struktur organisasi linear untuk Puskesmas secara umum. Pada
Puskesmas tertentu, misalnya Puskesmas dengan rawai inap, organisasi linear
mungkin akan menyulitkan, karena benar – benar akan memisahkan antara kegiatan
dalam gedung dan luar gedung, walaupun masih ada garis koordinasi. Padahal,
kedua kegiatan ini hendaknya saling mendukung.
Disamping
itu, keterbatasan jumlah tenaga di Puskesmas juga akan menyulitkan bila
struktur linear masih dipertahankan. Dalam hal ini, mungkin struktur organisasi
matriks lebih memungkinkan. Struktur ini akan lebih fleksibel dalam
mengefisienkan tenaga yang tersedia.
2. Syarat personil yang menduduki
struktur organisasi. Kepala Puskesmas. Dalam Keputusan Menteri nomor 128/ 2004,
disebutkan bahwa syarat Kepala Puskesmas adalah sarjana di bidang kesehatan
yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat. Hal tersebut masuk
akal karena kegiatan Puskesmas sebagian besar adalah kegiatan yang berhubungan
dengan kesehatan masyarakat.
Tapi tidak
boleh dilupakan bahwa Puskesmas adalah pelaksana kegiatan komprehensif yang
tidak mengkotak – kotakkan antara pelayanan kesehatan masyarakat dan
perorangan. Dua kegiatan yang saling mendukung dan berkaitan satu sama lain.
Ada keputusan yang diambil berdasar surveylans epidemiologi maupun situasi
medis. Sehingga, sosok Kepala Puskesmas di sini diharapkan orang yang tidak
hanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan kesehatan masyarakat, tapi juga
mengetahui tentang penyakit dan medis tehnis. Sehingga dapat ditegaskan bahwa
untuk menjadi Kepala Puskesmas diharapkan adalah seorang dokter atau sarjana
kesehatan masyarakat yang memiliki latar belakang kegiatan teknis medis dan
ilmu penyakit, misalnya perawat. Perawat di sini diharapkan memiliki pendidikan
lanjutan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
Khusus
untuk Puskesmas rawat inap, di mana terdapat pengambilan keputusan terhadap
suatu masalah berlatang belakang medis tehnis serta mungkin menjadi rujukan
untuk Puskesmas lain di sekitarnya, maka dokter lebih tepat untuk menjadi
Kepala Puskesmas.
3. Revitalisasi orang kedua Puskesmas.
Pada manajemen Puskesmas di awal berdirinya, kita mengenal orang kedua. Tidak
disebutkan apakah orang kedua ini wakil Kepala Puskesmas atau tidak, tapi dia
memegang peran penting untuk membantu Kepala Puskesmas dalam mengelola
Puskesmas. Orang kedua ini juga dibekali dengan pelatihan manajemen Puskesmas
untuk orang kedua.
Entah sejak
kapan, orang kedua ini menghilang, yang jelas saat ini tidak pernah terdengar
lagi. Mereka yang dulu mendapat pelatihan sebagai orang kedua juga sudah banyak
yang pensiun. Ketidakberadaan orang kedua ini yang menyebabkan banyak
kepemimpinan Kepala Puskesmas menjadi dominan. Hal ini sering berefek kurang
baik dalam suatu organisasi bila Kepala Puskesmas terlalu dominan. Fungsi orang
kedua ini memang diharapkan mampu menjadi mitra Kepala Puskesmas dalam
menyelesaikan beban kerja di Puskesmas.
Memang saat
ini ada Kepala Tata Usaha. Tapi Kepala Tata Usaha ini sebagian besar tidak
menjalankan fungsinya sebagai orang kedua, karena mereka memang tidak
dipersiapkan untuk itu. Mereka lebih banyak dibebani dengan tugas administrasi.
Sehingga Kepala Tata Usaha ini banyak diambilkan dari instansi lain yang
bukan berlatar belakang kesehatan.
Sebenarnya,
sangat mungkin Kepala Tata Usaha ini menjadi orang kedua di Puskesmas. Tapi,
karena menjadi orang kedua, mereka harus memahami tentang kesehatan. jadi,
alangkah baiknya bila orang kedua ini juga merupakan jabatan karir dan
personilnya berlatar belakang kesehatan.
Orang kedua
ini juga berperan dalam perencanaan dan evaluasi di tingkat Puskesmas. Untuk
itu seharusnya mereka memiliki kemampuan surveylans yang memadai, disamping
kemampuan manajemen serta kepemimpinan. Orang kedua ini bukan saingan Kepala
Puskesmas, tapi merupakan mitra kerja untuk membagi beban dan tanggung jawab
pengelolaan Puskesmas.
4. Koordinator pada Unit Pelaksana
Fungsional Puskesmas. Apabila Puskesmas memiliki jaringan yang berbentuk UPF,
maka koordinator di UPF ini sebaiknya pejabat fungsional dan bukan struktural.
Ini untuk mengefisienkan kinerja agar lebih tepat sasaran. Juga agar tidak
terlalu membebani struktur Puskesmas. Mereka bertanggung jawab kepada Kepala
Puskesmas.
Dalam praktek, tentunya tidak
semudah teori. Struktur organisasi Puskesmas yang ada selama ini mungkin perlu
direvisi agar lebih sederhana, tapi mampu mengemban semua fungsi. Tapi
tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin kan?